Recent News

Selamat datang kawan di blog personal saya. Semoga anda tidak muntah membaca semua postingannya.

Rabu, 07 Maret 2012

Jangan Biarkan Saya Mencontoh Ayah

Mungkin gua harus berterima kasih banget untuk (entah) siapa yang telah menciptakan blog. Tanpa blog ini, gua gak tau lagi harus meluapkan semua emosi gua kemana dan siapa. Jujur, gua adalah pribadi yang sulit untuk cerita keorang lain untuk masalah personal yang sifatnya tuh privasi banget seperti keluarga dan pacaran. Kecuali kemereka-mereka yang gua rasa tepat, tidak melulu orang yang sudah lama kenal dengan gua adalah orang yang tepat tersebut. Kadang ada yang baru kenal satu sampai dua bulan tapi kita sering sharing tentang berbagai hal dan gua merasa pada satu titik kita itu sama. Tapi jumlah orang-orang yang tepat itu hanya sedikit mungkin perbandingannya cuma satu diantara sepuluh.

Sudah sejak kapan gua lupa, gua sering berikrar dalam hati "Gua ga mau sama kaya papa!" dalam konteks sifat. Namun sialnya dalam beberapa hal seperti style kita saat merokok itu sama, kita punya posisi yang sama saat sedang merokok dibangku yang sama dan gaya menghisapnya pun sama. Yah gua cuma berharap gua selalu mirip dengan hal tersebut dan tidak untuk hal-hal lainnya. Seperti lebih mementingkan teman ketimbang keluarga. Tunggu dulu, ini lain hal misalkan papa itu bujangan (mana ada tapinya).

Gua selalu risih setiap papa kumpul dengan teman-temannya. Oke baik dengan sesama itu mungkin wajar. Tapi kita harus liat kondisi orang yang lebih dekat dengan kita terlebih dahulu, seperti anak dan istri. Biasanya papa kalau sedang kumpul dengan teman-temannya selalu bersikap paling dermawan, oh atau supre duper dermawan. Rokok hingga kopi bahkan terkdang cemilan dan makanan berat semuanya papa yang tanggung tanpa melihat kondisi keluarga yang seperti apa. Oke, jika ini hanya sekali. Tapi jika seminggu bisa berulang hingga berkali-kali ? ini harus dihentikan. Pertama untuk menghemat uang dalam kondisi perekonomian yang sedang goyah. Kedua, yah untuk tidak membuat seolah-olah orang lain melihat kami sekeluarga dalam kondisi yang prima (perihal ekonomi).

Oke, mungkin papa kerja. Dan kerja di Dirjen Pajak. Gua yakin mendengar pekerjaan papa yang seperti apa, kalian pasti membayangkan Gayus serta lifestylenya. Ironis itu adalah ketika anda berfikir seperti itu dan mencoba menyamakannya ke gua. Sudah berapa tahun ini, papa menjalani hukumannya akibat lalai dalam bekerja dan berujung pada di potongnya upah pada waktu itu hingga sekarang. Dan hal tersebutlah yang membawa kita sekeluarga terjebak pada permainan kotor bank, kalian tau lah apa yang gua maksud. Dan katanya, semua itu akan selesai pada tahun 2014 nanti. Yah, ternyata kita sekeluarga masih punya kesempatan untuk merasakan kenaasan ini selama satu tahun setengah kedepan.

Hal yang paling gua benci dari papa adalah waktu dia bilang "Jadi anak harus prihatin". Kalau kalian baca postingan gua sebelum ini. Pasti kalian tau bagaimana gua waktu masih SMP karna masalah ini sudah bergulir sejak itu. Dan saat masuk SMU dan yah, saat gua kenal dengan HC/PUNK serta etos didalamnya. Gua mulai membiasakan diri melihat keluaran sepatu Adidas terbaru. Selalu menelan ludah setiap kali Pizza Hut mengeluarkan menu terbarunya. Mungkin gua tidak perlu melakukan itu semua apabila papa tidak pernah melakukan kesalah pada waktu itu, tapi yasudahlah nasi sudah berkerak.

Sebagai anak tertua gua selalu mencoba memahami kondisi keluarga. Sampai-sampai harus rela mengganti handphone yang tadinya dilengkapi berbagai macam fitur hingga gua pilih yang paling murah. Mungkin disini kesalahan gua, gua jarang mau terlihat seolah-olah gua sedang menjalani kehidupan yang prihatin sebagai mana yang papa bilang. Karna setiap kali gua mau minta ganti handphone dari yang memiliki fitur lengkap ke handphone yang hanya bisa untuk sms dan telfon saja. Gua selalu bilang dengan alasan bosan. Ini dia, gua nggak pernah bisa bilang "Aa ganti hape karna prihatin sama keluarga ini" entah kenapa gua rasa itu terlalu berlebihan dan gua selalu ingin tertawa setiap kali mengucapkannya. Dan mungkin efeknya gua masih dianggap ria oleh papa. Hingga pada suatu ketika kita sempat debat dengan nada tinggi, yah gua tau ini bukan contoh yang baik yang dilakukan seorang anak terhadap ayahnya. Tapi pada waktu itu gua sudah kepalang kesal karna terus ditodong dengan tudingan selalu ria. Sampai saking kesalnya, gua bentak dengan kata-kata "Kalau gua masih ria, gua udah pergi dugem, gua udah ngiri ngliat Putri (Ade gua nomer 2) yang nggak pernah ngerti untuk beli handphone baru, gua udah minta beliin motor (pada waktu itu gua belum punya motor)!!!!!" dan respon ayah gua hanya bisa diam.

Bahkan saat lulus SMU gua memilih istirahat setahun dan tidak langsung memilih untuk kuliah. Sengaja itu gua pilih untuk membuat kedua orang tua gua setidaknya untuk mengambil nafas sedikit dari tiga tahun membiayai gua sekolah disekolah yang memang cukup memakan biaya. Dan pada waktu itu berbenturan dengan Putri mau masuk SMU. Dengan dahlil ingin mencoba dunia kerja terlebih dahulu, akhirnya gua pilih untuk rehat setahun dari dunia pendidikan formal. Dan gua memutuskan untuk bekerja.

Dan hari ini gua benar-benar merasa kalau yang prihatin hidup itu cuma gua dan mama. Mama untuk mengakali uang belanja yang minim karna terpotong biaya sekolah dan jajan kedua adik gua serta gua, dia berjualan apa yang bisa ia lakukan seperti menjadi agen kecil dari produk kosmetik dan perlengkapan kecantikan hingga produk rumah tangga. Dan gua, yah untuk bisa sekedar membiayai hobi gua dan (kadang) mentraktir pasangan gua, gua selalu mengandalalkan uang dari hasil menjalankan distribusi kecil-kecilan. Kadang jika distribusi sedang tersendat pergerakannya dan hasrat untuk berbagi (entah ke teman,keluarga,atau pasangan) ataupun membeli gua itu muncul, gua selalu rela untuk tidak jajan atau jajan secukupnya demi hal itu terlaksana. Dan gua rasa gua sudah berusaha sedemikian rupa untuk melakoni apa yang papa bilang, hidup prihatin. Tapi bagaimana dengan papa sendiri ? ini dia sebetulnya inti dari yang ingin gua bahas. Papa itu selain super duper dermawan didepan teman-temannya, papa itu juga seorang perokok aktif. Kadang kesel juga saat gua ngga punya uang dan mendadak laper di tengah malem yang keadaan tanpa makanan dan berusahan untuk meminta sejumlah uang untuk beli mie instan ke papa, papa selalu bilang ga punya duit. Tapi stock rokok papa itu tidak selalu berkurang dari satu bungkus. Dalam sehari saja ia bisa menghabiskan tiga atau mungkin empat bungkus rokok seharga 8.000 s/d 12.000. Gua yang sama seorang perokok sampai kesal dan akhirnya belajar untuk mengurangi merokok (karna memang tanpa disadari sebagian uang jajan gua habis untuk rokok) dan kalau bisa tidak merokok sama sekali. Alasan gua untuk mencoba mengurain merokok tidak seperti orang kebanyakan yang selalu dengan alasan kesehatan tapi kalau gua lebih kepada untuk menghemat kantong dalan kehidupan yang sedang prihatin ini. Tapi sebelum gua berniat untuk mengurangi merokok, gua pernah menerapkan sebuah sistem untuk diri gua sendiri yakni stop buying Cigarette but can't stop to smoking. Terdengar egois memang, gua masih mau meroko tapi tidak mau membelinya. Atas dasar itulah gua memutuskan untuk menguranginya.

Lelah memang mencoba hidup prihatin di tengah orang-orang yang melakukan hal sebaliknya. Tapi jika gua sama seperti mereka. Mama pasti lebih kasihan lagi. Mungkin benar kata mama jangan terlalu dipikirkan. Tapi gua cuma mau papa untuk mengurangi jatah rokoknya dan tidak terlalu terlena dengan hal itu dan bisa bersikap biasa saja terdap teman-temannya. Yasudahlah, gua cuma berharap demikian dan bersusahan sedemikian mungkin sekarang untuk merefresh otak dengan biaya yang tidak terlalu banyak. Maka dari itu gua berterima kasih sekali dengan siapa pun anda yang telah menciptakan blog. Gua berhasil membuang sedikit beban disini. :D

Jumat, 02 Maret 2012

Mari Mengakali Perekonomian Diri Sendiri

Hidup memang tak selamanya bisa terus merasakan senang, klise memang. Dan saat ini-pun kondisi perekonomian kami sekeluarga tidak lebih baik dari tahun 2007 silam. Sebuah insiden melumatkan impian kami semua untuk terus bahagia, hahahaha utopis bukan ? Beruntungnya, yah kami masih cukup beruntung karna masih dipertemukan beras dan saya serta kedua adik saya masih bisa membayar iuran bulanan sekolah secara teratur. Lantas apa yang perlu di takutkan dan dianggap sebagai kondisi perekonomian yang kurang baik ? Mungkin apabila pasca lulus SMP saya tidak pernah mengikuti trend musik yang sedang berkembang kala itu, hari ini saya sudah depresi berat menghadapi situasi semacam ini. Yah, saya sama seperti orang lain atau mungkin kamu yang menaruh Hardcore/Punk pada thanks list kehidupan.

Saya selalu membayangkan apabila saya masih sama dengan saya sebelum lulus SMP. Selalu berusaha untuk uptodate terhadap fashonstyle, sampai-sampai setiap memasuki pergantian dari trend satu ke trend selanjutnya saya selalu menghabiskan sejumlah uang untuk berburu stuff yang sedang hip saat itu. Dan selalu merasa tidak percaya diri apabila saya tidak tampil sama seperti orang kebanyakan yang terbawa arus trend. Mungkin hari ini, detik ini, saya sudah menangis karna saya tidak punya cukup uang untuk membeli semua outfit yang Peter Say Denim tawarkan. Mungkin saya sudah kesal dengan kedua orang tua saya yang tidak menuruti permintaan saya untuk membelikan Vespa Piaggio keluaran terbaru. Menyesali nasib ketika hanya bisa membeli sepatu Vans kualitas entah berapa keluaran Tampur dan bukannya keluaran Penny. Bermurung durja ketika uang dikantong tidak cukup untuk sejenak menikmati segelas Coffee di Starbucks. Dan tidak bisa intens mengajak kekasih setiap weekend menyambangi XXI. Meski begitu bukan berarti saya yang sekarang menolak berkompromi terhadap trend yang sedang bergulir namun lebih pintar memilih mana trend yang pantas untuk diikuti dan mana yang tidak. Dan selalu memposisikan diri sebisa mungkin untuk tidak terbawa arus trend, karna siapa yang terbawa arus trend, ia tidak pernah tau kapan akan berhenti.

Beruntung saya sempat mengikuti trend musik pada waktu itu. Dan membawa saya pada proses hingga saat ini. Selalu mengakali kondisi perekonomian internal yang tidak bagus dengan berbagai cara. Salah satunya dan yang saat ini sedang saya terapkan pada diri saya sendiri adalah Buy Nothing Day. Yah, sebuah hari tanpa belanja yang dimotori oleh Ted Dave, seorang penggerak di kolektif Adbuster pada tahun 1993.

Selama delapan hari dengan waktu yang tidak berurutan, saya akan mulai membiasakan diri untuk tidak mengeluarkan sepeser uang pun dihari yang telah saya bulatkan. Saya tau ini terdengar mustahil dilakukan untuk saya yang seorang mahasiswa mengingat waktu-waktu yang telah saya bulatkan itu adalah waktu-waktu dimana saya masih beraktifitas dengan jadwal perkuliahan. Mungkin pada beberapa aspek seperti tidak membeli makanan kecuali makanan yang disajikan dirumah, itu bisa saya atasi. Bagaimana dengan bensin ? mengingat tidak mungkin saya menggunakan kendaraan umum tanpa membayar sejumlah uang sesuai tarif yang berlaku. Dan tidak mungkin juga untuk saya berjalan kaki ke kampus. Saya menyiasati ini dengan mengisi bensi pada hari sebelum saya memulai Buy Nothing Day dan menggunakan motor pada hari itu seperlunya untuk mengantisipasi habisnya bensin untuk hari esoknya.

Sepertinya setiap bulannya saya akan terus menerapkan ini untuk mengurangi sedikit beban dari krisisnya perekonomian kami. Setidaknya semua ini semacam menjadi alat pengendali hawa nafsu saya untuk kembali menjadi saya waktu SMP dulu.

Baca lengkap tentang apa itu Buy Nothing Day disini