Recent News

Selamat datang kawan di blog personal saya. Semoga anda tidak muntah membaca semua postingannya.

Minggu, 29 Mei 2011

Posesif Berujung Maut : Sebuah Cerpen Hasil Dilematis Problema Tengah Malam!

Ruangan petak itu masih terlihat seperti bangkai kapal yang habis menerjang karang, berantakan. Puntung rokok berserakan dimana-mana, jumlahnya sudah tak terhitung lagi banyaknya. Winamp di laptop terus memutarkan playlist yang kini sudah masuk ke putaran sembilan. Mungkin jika suasana hati Arian sedang tak seperti ini. Semua itu tidak akan pernah terjadi.

Arian masih berbaring terdiam diatas kasurnya, sama seperti satu jam yang lalu. Matanya kadang terpejam kadang terbuka. Sudah hampir satu jam lebih ia tidak berhasil mendapatkan posisi yang nyaman untuk berbaring. Posisinya selalu berubah setiap lima menit sekali.

Suasana diluar kamarnya yang gaduh, sungguh tak mampu menembus dinding-dinding kamarnya yang sunyi sepi oleh semua pikiran yang bergelut di otaknya. Pikirannya saat ini begitu dahsyat sehingga mampu meredam semua kebisingan yang disebabkan oleh keponakannya yang masih kecil-kecil yang tengah bercanda riang dan sesekali menangis.

Ia coba memejamkan matanya kembali. Berharap ia bisa segera terlelap. Mencoba terlelap dengan semua pikiran yang masih hangat serta mengganjal otak ternyata bukan hal mudah di lakukan. Arian berranjak dari pembaringan. Celana jeans lusuh yang sudah menemaninya sejak masih duduk di bangku SMU dulu masih terlihat cocok dengan postur kakinya yang bagaikan model catwalk. Dengan langkah yang tergontai-gontai ia keluar menuju lemari es untuk menghempaskan semua dahaga. Matanya yang sayup dan raut wajah yang tak bergairah mengarah ke keponakan-keponakannya yang sedang asyik bercanda.

Arian terdiam sejenak di depan lemari esnya. Mengarahkan matanya ke dalam kamar melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Pikirannya kini bercabang, haruskah ia kembali berbaring di atas kasur berjam-jam ataukah ia harus pergi keluar untuk sedikit melepaskan penat ? masih dengan langkahnya yang tergontai, ia kembali ke dalam kamarnya yang seperti bangkai Titanic untuk mengambil kunci motor.

Seorang wanita paruh baya menghampiri Arian yang melangkah dengan tergontai kearah luar rumah. “Mau kemana kamu,nak ?” tegur wanita tua itu.

“Mencari udara segar,mom. Mumet dirumah.” Jawab Arian dengan begitu datar. Ia tak menghentikan langkahnya barang sedetik pun.

Wanita tua itu tak bisa berkata apa-apa lagi. ia melepaskan Arian begitu saja.

Sebuah motor bebek bertenaga 125cc kini menjadi media bagi Arian untuk melepaskan semua pikiran yang telah memenuhi otaknya beberapa hari belakangan ini. Menemani Arian berjalan menyusuri setiap sudut kota tanpa tau arah dan tujuannya. Ia terus melangkah dengan kuda besinya. Pandangan matanya masih terlihat kosong. langit yang mulai menghitam,bintang-bintang yang mulai bermunculan,dan bulan yang sedang mencoba menampakan dirinya menjadi saksi perjalanan tanpa arah dan tujuan ini. Suara angin yang berdesis menjadi backsound yang sangat indah untuk perjalanan Arian ini.

Ia merapatkan kuda besinya kesebuah tempat yang sepi. Karna ini sudah menjelang tengah malam tempat ini menjadi sepi,tak banyak orang yang datang,hanya ada beberapa orang dan beberapa pedagang yang belum pulang karna dagangannya belum habis. Yah,Arian berhenti di taman kota. Ia mengeluarkan sebungkus kotak rokok dari saku celananya dan merebahkan bokongnya diatas rumput yang kering. Pandangan matanya masih saja kosong. pikirannya masih berkecamuk didalam otaknya. Ia mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya dan kemudian menghisapnya perlahan.

Ia masih saja terpikirkan oleh kejadian tiga hari silam. Kejadian itulah yang membuatnya menjadi seperti saat ini. Ia masih tak habis pikir,bagaimana bisa pacarnya memutuskan dirinya hanya karna masalah yang sebetulnya tidak layak untuk dijadikan masalah. Pikirannya memutar balik kejadian tiga hari lalu.

Langit yang sebelumnya bertaburkan bintang mendadak menyuram gelap. Satu persatu butiran air turun dan tak lama kemudian ribuan butir air turun secara membabi buta. Arian mendadak kalap dan berteduh di sebuah kios yang buka 24jam.

Seorang pak tua yang notabene adalah pemilik kios tersebut menghampiri Arian. Ia bertubuh tidak terlalu besar namun kekar,beberapa bagian rambutnya sudah memutih akibat umur. “Mau kopi,dek ?”

Arian tak menjawab. Ia sedang asyik melemparkan pandangan kosongnya ke setiap sudut taman kota yang kini dibasahi oleh hujan.

Namun,pak tua itu membuatkannya tanpa terlebih dahulu menunggu respon dari Arian. Ia membuatkan secangkir kopi jahe hangat dan meletakkannya tepat di hadapan Arian. “Minum dulu. Hujan begini enaknya, yah minum kopi jahe ini.”

Arian masih saja bersikap acuh. Ini bukan sifat aslinya. Ini adalah pengaruh dari pikiran yang belakangan ini menginvasi dirinya. pandangan matanya masih kosong. ia benar tak mempedulikan kopi jahe yang telah di suguhkan oleh pak tua.

“Minum saja dulu. Tak usah sungkan. Tak usah bayar. Ini gratis untuk mu.”

Arian kaget mendengar ucapan pak tua ini. Bagaimana bisa ada orang yang menggratiskan sesuatu di jaman seperti ini ? di benaknya. “Ini gratis ?” tanya Arian tak percaya.

Pak tua itu mengangguk.

Arian pun mencicipi kopi jahe pemberian pak tua itu.

“Sedari tadi, adik ini saya lihat melamun terus. Ada apa kalau saya boleh tau ?” tanya pak tua.

Arian meletakkan kopi jahe hangatnya diatas meja. “Nggak ada apa-apa,kok pak.”

“Pasti masalah dengan pacarnya yah ?”

Arian tersenyum kecil. Wajahnya mendadak merona,salah tingkah. “Begitulah,pak.” Menghela nafas. “Posesif.”

Pak tua itu tersenyum. “Posesif itu tanda sayang,dia ke kamu. Jadi apa yang kamu permasalahkan dengan itu ?”

“Yah saya tau,posesif itu tanda sayang seseorang terhadap diri kita. Tapi itu juga harus ada porsinya. Apabila kadar posesifnya itu sudah melampaui batas itu bisa mengganggu. Itulah yang kini saya rasakan. Pacar saya,Ratih namanya,tiga hari yang lalu mencaci maki diri saya di hadapan umum hanya karena saya sedang berada dalam satu situasi dimana banyak lawan jenis saya bertebaran. Padahal pada saat itu kami sedang menggalang dana untuk para korban bencana alam Gunung Merapi di Jogya. Dan disitu kami berkumpul dengan tujuan yah untuk menggalang dana,tidak ada istilahnya untuk mejeng atau mencari jodoh. Yah memang sebagian dari voluntir ada yang mengambil kesempatan seperti itu.” Arian berhenti sejenak kemudian melanjutkan kembali. “tapi tidak untuk saya. Karna tujuan saya berada di sana, yah untuk menggalang dana untuk para korban. Tapi apa yang pacar saya tuduhkan...” Arian terdiam.

“Apa ?” tanya pak tua itu,penasaran.

“Saya dituduh mejeng dihadapan para voluntir wanita.” Lanjut Arian.

Pak tua itu tertawa.

“Kenapa bapak tertawa ? apa ini sebuah anekdot ?” tanya Arian heran,dahinya mengernyit.

“Pacar mu yang membuat ini semua menjadi seperti anekdot.” Pak tua itu masih tertawa. “Ini tidak akan bertahan lama. Dia pasti akan segera menyadari bahwa ia telah keliru telah menuduh mu seperti itu. Ia pasti akan meminta maaf.”

“Saya harap seperti itu.” Arian mengambil cangkir kopi jahenya lagi,meminumnya dan melanjutkan berbicara. “Kadang saya merasa bersalah telah menyukai wanita ketika dihadapi masalah seperti ini. Masalah ini begitu kompleks sehingga kadang saya berfikir,apakah saya harus menjadi biseks atau gay sekalian ?”

Pak tua yang tadi tertawa kini mendadak memasang wajah serius. Dahinya mengernyit. “Bodoh kalau itu kamu lakukan. Cukup pikiran itu bersarang di otak mu. Jangan kau terapkan. Semua ini bukanlah masalah pelik. Ini hanya refleksi ketakutan pacar mu akan kehilangan diri mu atau jatuhnya diri mu ke orang lain. Kamu hanya perlu meyakinkan dirinya bahwa kamu tidak akan berpaling darinya. tidak perlu kamu menjadi biseks atau gay hanya karna mempermasalahkan yang seharusnya tak bermasalah ini.”

“Tapi pak. Terkadang ia juga melakukan hal serupa dengan yang saya lakukan yakni berkumpul dengan lawan jenisnya.”

“Terus ?”

“Yah,saya tak bermasalah akan hal itu. Karna siapa saja boleh bersosialisasi dengan siapapun. Namun dengan catatan,ia harus tau batas. Tapi kenapa ketika saya tidak mempermasalahkan itu,ia justru mempermasalahkan ini ?”

Pak tua itu mengelus dagunya yang telah berjenggot putih. “mungkin,yah karna perasaan takut kehilangan itu tadi. Sehingga ia tidak bisa membiarkan diri mu dekat dengan lawan jenis yang lain selain dirinya.”

“itu namanya egois.”

“yah,bisa dibilang seperti itu.”

“Apa ia bisa di bilang diktator ?”

“Diktator cinta,tepatnya.”

Mereka berduapun tertawa terpingkal-pingkal.

Hujan yang tadi begitu deras kini mulai berangsur-angsur mereda. Bintang-bintang satu persatu mulai menampakan wujudnya kembali. Begitu juga dengan bulan. Hujan itu mewariskan udara yang dingin.

“Kenapa kamu tak mencari wanita lain saja ?” tanya pak tua.

“Seharusnya itu yang saya lakukan. Sialnya,sungguh sulit untuk melakukannya.”

“Kenapa sulit ?”

“Entahlah. Saya pun tak tau.” Arian menghabiskan kopi jahe terakhirnya. “Hujan sudah teduh. Saya izin pamit dulu. Berapa semua ini pak ?”

“Tak usah kamu bayar. Ini semua gratis untuk pemuda galau seperti mu.” Ucap pak tua itu sambil tersenyum kecil.

“Bapak bisa saja. Ambil ini.” Arian menjulurkan tangannya yang menggengam sejumlah uang.

“Simpan saja.” Pak tua menolak pemberian Arian tersebut.

“Yasudalah kalau begitu,saya pamit dulu,pak. Terima kasih banyak.”

Dengan motor bebeknya Arian kembali melanjutkan perjalanannya. Pikirannya yang membebani dirinya sudah sedikit berkurang sekarang. Karna udara yang dingin,Arian memutuskan untuk kembali pulang kerumah.

***

Pagi itu Arian berniat pergi kerumah Ratih untuk membicarakan hal ini baik-baik. Dengan kuda besinya ia pun melaju ke rumah Ratih yang berjarak 5km dari kediamannya. Celana jeansnya masih sama dengan yang ia kenakan di waktu kemarin. Itu memang celana jeans kesukaannya. Belum akan di ganti sebelum kotoran gajah menempel di sana.

Sebuah rumah bergaya minimalis seperti kebanyakan rumah pada umumnya di jaman sekarang,menjadi tempat pemberhentian Arian dan kuda besinya itu. Rumah dengan pagar setinggi 2meter,bercat-kan putih,dengan halamannya yang cukup luas dan menyegarkan karna banyak berdiri pohon-pohon serta beberapa tanaman hias mengisi pandangan Arian.

Arian mulai melangkahkan kakinya,mendekat dengan pagar rumah yang lebih tinggi darinya. Matanya celingak-celinguk seperti baru pertama kali kesana. “Assalamualaikum…” teriaknya.

Tak berapa lama kemudian seorang wanita dengan tinggi 167cm,bertubuh putih bak model HandBody Lotion,rambut hitam yang tergerai panjang bak model shampoo,keluar dan mulai mempersilakan masuk.

Arian mulai membuka pagar dan memasukkan kuda besinya itu ke dalam halaman rumah Ratih. Dan lekas mengikuti Ratih keruang tamu.

“Ada apa kamu kesini ?” Tanya Ratih ketus.

“Aku ingin membicarakan hal yang kemarin.” Ucap Arian,memelas.

“Apa yang harus di bicarakan lagi ? bagi ku ini semua sudah selesai. Kamu tidak mau mengikuti rules aku dan aku pun tidak mau mengikuti rules kamu. Kata lainya KITA PUTUS.” Ucap Ratih dengan nada yang semakin meninggi.

“Semudah itu ? ini semua bermulai dari kamu,Tih. Kamu yang mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya tak bermasalah.” Timpal Arian dengan nada yang sedikit meninggi dari sebelumnya.

“Jangan gila kamu,Ian. Sudah jelas kamu udah membohongi ku. Kamu bilang dalam acara itu hanya ada dua orang wanita. Tapi nyatanya ? lebih. Aku udah kamu nggak ajak,apa kamu malu ? apa kamu ingin bebas melirik cewek-cewek itu ?”

“Bukan maksud ku untuk berbohong. Awalnya tak terbesit satupun niatan untuk berbohong. Tapi pada akhirnya,semua itu terpaksa harus aku lakukan karna kamu yang terlalu overposesif ketika mendengar ‘ada wanitanya disana’ makanya dari itu aku bilang cuma ada dua wanita yang ikut dalam BakSos tersebut. Itupun kamu masih menuduh ku dengan semua tuduhan yang macam-macam. Bagaimana jika aku katakan yang sebenarnya,kalau dalam BakSos tersebut ada lebih dari dua wanita yang berpartisipasi. Perang ketiga akan segera dimulai. Tapi nyatanya,sekarang,semua yang ku takutkan terbukti.”

“Apa yang kamu takutkan ?”

“Yah ini. Yang seperti sekarang ini. Praduga. Mengambil kesimpulan tanpa dasar apapun.”

Suasana hening sejenak. Detak jarum jam dinding,mengisi keheningan ini.

“Tapi,apa yang selalu aku duga selalu benar. Buktinya waktu itu.” Ucap Ratih.

“Yah memang. Waktu itu apa yang kamu duga menjadi kenyataan dan aku mengakuinya,aku salah. Tapi….”

“TAPI APA ?” Ratih memotong pembicaraan Arian.

“Tapi nggak setiap apa yang kamu sangka itu bisa kamu anggap benar. Ada baiknya kamu memperlajarinya dulu sebelum kamu mulai membagikan pelajaran itu. Simplenya,kamu jangan main asal sangka dulu. Lagi pula,pada waktu itu kita semua yang ada saat itu tidak ada satupun niatan untuk mencari jodoh,saling suka siapa dengan siapa,kita murni beramal.”

“Ihhh….” Ratih menggeram. “Tapi kamu pastinya caper di depan wanita-wanita itu. Sok,simpatik gitu dengan mereka.”

“Hey.” Gertak Arian. “Kita itu satu tim. Untuk membuat tim itu menjadi solid harus di mulai dari komunikasi. Aku tau batas. Bagaimana aku harus memperlakukan mereka. bagaimana aku harus memperlakukan kamu.”

“Iya tapi yang udah-udah,apa coba ? kamu malah terpincutkan.”

“Tidak seharusnya kamu me-lebeli ku dengan stigma itu secara permanen. Oke,mungkin pada waktu itu aku pantas kamu lebeli seperti itu. Semua orang bisa berevolusi. Otak ku pun belum karatan. Jika kamu masih me-lebeli ku dengan stigma itu. Sampai kapan pun,hubungan ini tidak akan pernah berjalan mulus.”

Ratih terdiam.

“Apa kamu mau kita terus begini ? jika iya,biarkan stigma itu tetap hidup di benak mu sampai hari tua mu. Jika tidak. Lenyapkanlah.”

Ratih masih terdiam. Kepalanya tertunduk lesu. Pandangannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu.

Ratih menaikkan kepalanya. Menatap wajah Arian. “Maaf..Maafkan aku. Aku sadar,aku tak punya hak untuk melarang kamu bergaul dengan siapapun. Termasuk dengan para wanita.”

Arian mendekatkan diri ke Ratih. Kedua tangannya meraih kedua tangan Ratih. “Biarkan-lah yang sudah. Kini saatnya kita untuk saling berbenah diri.” Arian terdiam sejenak. “Bagaimana dengan hubungan ini ? apakah masih akan kita lanjutkan ?”

Ratih terdiam untuk kesekian kalinya. Kini wajahnya memucat pasi. Seperti ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. “Hh-mm…aku ingin jujur kepada mu.”

Arian memasang wajah penuh panasaran serta curiga.

“Aku sedang dekat dengan seseorang.” Lanjut Ratih.

Arian terperangah. “Maksud mu ?”

Seorang pemuda berkulit putih dengan polo Fred Perry,celana jeans semi ketat,potongan rambut pendek,serta behel yang menghiasi dua baris giginya,menghentikan mobil Honda Jazz-nya di depan rumah Ratih. Sekilas ia terlihat seperti kaum Trads pada era tahun 60-an namun sebenarnya ia tak lebih dari kaum Smooth Mods. Tanpa banyak basa-basi lagi ia segera melangkah ke dalam rumah yang pada saat itu terbuka lebar.

“Ratih.” Tegur pemuda itu.

Arian dan Ratih di kejutkan dengan suara itu. Mereka berdua saling mengarahkan pandangannya ke pintu rumah secara bersamaan.

“Riko ?” sahut Ratih.

“Sudah siap ?” tanya Riko.

Ratih menatap Arian dengan pandangan penuh rasa bersalah. Sedangkan Arian menatapnya nanar. “Aku pamit dulu,Tih.” Ucap Arian datar.

“Ian.” Panggil Ratih. “Maaf!”

“Lupakan.”

Arian melangkah keluar rumah dengan tertatih seperti telah di berondong peluru panas oleh aparat. Ia melewati Riko yang berdiri di tepat di depan pintu tanpa satu pun ucapan basa-basi. Sedangkan Ratih hanya terdiam. Posisinya serba salah kala itu,satu sisi ia tak enak hati apabila menghentikan langkah pergi Arian di depan Riko yang sedang mencoba menjalin hubungan dengannya. Di satu sisi yang lainnya ia merasa bersalah telah membiarkan Arian pergi begitu saja.

Dengan rasa kesal yang masih berkecamuk dalam hati,Arian melaju dengan kuda besinya begitu cepat. Tangan dan kakinya berkerja untuk menjalankan serta menstabilkan motornya namun pikirannya melalang buana entah kemana. Ia masih tak habis pikir dan tak percaya dengan apa yang barusan menimpa dirinya.

Dari arah sebaliknya sebuah mobil Inova melaju dengan kecepatan tinggi. Dan dikemudikan oleh seorang sopir yang tengah menahan nidera. Laju mobil tersebut tak stabil,kadang kekiri kadang kekanan,sungguh membahayakan pengguna jalan lainnya. Hingga sampai pada satu titik,mobil kijang Inova tersebut menghantam sebuah motor bebek yang sedang melaju dengan kecepatan sama tingginya dari arah sebaliknya.

~SELESAI~

**Sebuah refleksi dari apa yang terjadi pada kehidupan gua pribadi namun sedikit mengalami improvisasi dan eksplorasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar